Raut wajahnya menghanyutkan
Menggugah hati yang paradoks
Bidadari yang tersendiri, Tersipu menatap malu
Saat ini kau seperti di tengah padang
Sendiri,
tanpa teman tanpa
masalah
Tersenyum,
tertawa tanpa
sebab
Bingung menyapa memikirkanmu
Bidadari yang tersendiri
keindahan, anggun mempesona
Meluluhlantahkan hijab keangkuhan
Sedih sendiri dalam tawa sekeliling
Bidadari,
Yang tersendiri di keramaian
Tuhan Maha Tahu mengapa ia membiarkanmu..
(Makassar,
10-juni-2012)
Ku
awali soreku dengan sepenggal puisi. Puisi yang lahir dari pengakuanku sendiri
dalam jiwa yang bagai instumen musik klasik. Klasik, sungguh klasik perasaan
seperti ini. Ini bukan pertama kali ku alami dalam diriku. Diriku telah sejak
dulu, bahkan dalam suasana seperti bagaimana pun akan tenang jua jika mengingatmu seperti
semenjak aku menatap matamu. Matamu telah lama menjadi jembatan bagi diriku
untuk memahami keindahan kelembutan tajalli Tuhan. Tuhan menganugrahkan sesuatu
yang beda dari diriku melalui kehadiranmu. Kehadirunmu lah yang membuat suasana
selalu terasa tenang.. tenang.. tenang… tenang seperti musik instrument yang
aku dengar saat ini. Inilah senjaku bersama keindahanmu. (mungkin akan lebih
indah jika suatu saat kehadiranmu disisiku bersama suatu senja yang entah kapan,
menikmati music insturmen hingga malam malam tiba bersamaan dengan habisnya
dawai music instrument kehidupan)
Pahit
manis. Manis pahit. Tak lagi bisa ku
bedakan keduanya. seperti halnya kopi hitam yang ku seduh sekarang. Semua
terasa nikmat. Itulah aku dan perasaanku semenjak aku menemukan sesuatu yang
beda yang dihadirkan dari senyum kemerahanmu. Sejatinya ketenanganku sebahagian
berasal darimu. Perasaan ini semakin hangat layaknya kopi hitam yang ku seduh
senja kala ini. Keindahanmu ku seduh dalam secangkir jiwaku. Hangat, manis,
pahit. Dan itu membuat pikiran ini tenang. Tahukah engkau, keindahanmu
membuatku ketagihan, dan merasa tergantung. Ketika engkau kehilangan senyummu,
aku merasa kopi di dunia ini telah habis juga. Jika kopi di dunia ini habis.
Aku mungkin akan kehilangan ketenanganku. Teruslah tersenyum agar aku selalu
tenang. Seperti halnya kopi hitam yang ku seduh saat ini. (mungkin akan lebih
indah bagiku suatu saat nanti jika engkau bersedia, aku ingin engkau yang
menyeduhkanku secangkir kopi hitam beserta senyummu yang kemerahan yang merekah
di wajahmu)
Setiap saat
aku mendampakan itu.. tahu kah engkau…??
(…maaf.. penulis kehabisan kopi.
Senja juga telah berakhir… penulis juga mungkin akan melanjutkan tulisan ini
suatu senja saat nanti… salam teriring doa.. wassalam.. hehehe)
No comments:
Post a Comment