Hari ini saya ditanya oleh 3 orang berbeda dengan 1 pertanyaan yang sama,
"Kapan Nikah?".
Orang pertama, saya tahu dia sudah menikah dan punya anak. Selama saya kenal dengan dia, person ini saya anggap tak mengindahkan pernikahannya. Secara pribadi saya tak ingin pernikahannya menjadi perbandingan saya kelak. Sikapnya dan ceritanya bukan hal yang sesuai dengan saya.
Orang kedua, saya tahu dia sudah menikah cukup lama dan belum juga dikaruniai seorang anak. Selama saya kenal dia, person ini telah menjalankan kewajibannya. Secara pribadi saya tak terlalu banyak tahu tentang sikapnya. Kehidupannya semua kuanggap normal saja.
Orang ketiga, saya tahu dia sudah menikah dan sudah punya anak. Selama saya kenal dia, person ini hidupnya jauh lebih baik dan bahagia setelah dia menikah. Saya tahu pasangannya juga demikian. Secara pribadi, saya tahu sikapnya yang mengindahkan keluarganya. Bertanggung jawab dan selalu ikut bahagia melihat dia bersama keluarga kecilnya.
Respon saya ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, "kapan nikah?" Oleh ketiganya, ternyata juga menghasilkan respon yang berbeda. Sungguh cukup membuat saya bingung mengartikannya. Saya jabarkan gambarannya seperti berikut:
Dari orang pertama, sikap saya cukup acuh dan cukup membuat bingung tapi tak sampai memberikan emosi yang berlebih. Hanya sekedar angin lewat yang sesaat saja. Walau terasa tapi tidakk membuat saya berpikir terlalu banyak. Saya tak berkecil hati. Seperti pertanyaan basa-basi yang jawabannya selalu template.
Dari orang kedua, sikap saya kali ini cukup berbeda. Saya cukup memperhatikan dan merespon pertanyaannya dengan normal dan santai. Kami cukup banyak berdiskusi. Percakapan normal seputar hidup dan pernikahan. Tak ada rasa kasihan karena belum memiliki anak. Tapi sebagai seorang teman, dalam hati saya mendoakan dia. Tak ada respon yang berlebihan dari saya ketika ditanya, rasanya cukup normal.
Dari orang ketiga, sikap saya kali ini cukup unik, saya cukup bahagia ketika dia bertanya. Sama sekali tak ada rasa kesal. Saya merasa hangat di dada sebab mungkin kuanggap pertanyaan itu sebagai doa dia untuk saya. Respon saya lebih banyak senyum dan mendengarkan. Walau kami seumuran tapi kuanggap itu sebagai wejangan. Lumayan untuk membangkitkan semangat untuk tidak menyerah mencari pasangan. Pertanyaan itu membuat pembicaraan menjadi cukup hangat dan positif.
Akun tak bisa menyimpulkan. Aku tidak menyangka respon saya seperti itu. Katanya, kebanyakan orang menganggapnya sebagai pertanyaan menyebalkan, namun nyatanya yang terjadi pada saya tak begitu. Katanya banyak yang risih, namun sepertinya saya belum merasakannya.