salam

instagram : @i_d_h_o

Saturday, April 16, 2022

Kapan nikah?

Hari ini saya ditanya oleh 3 orang berbeda dengan 1 pertanyaan  yang sama, 

"Kapan Nikah?".



Orang pertama, saya tahu dia sudah menikah dan punya anak. Selama saya kenal dengan dia, person ini saya anggap tak mengindahkan pernikahannya. Secara pribadi saya tak ingin pernikahannya menjadi perbandingan saya kelak. Sikapnya dan ceritanya bukan hal yang sesuai dengan saya. 


Orang kedua, saya tahu dia sudah menikah cukup lama dan belum juga dikaruniai seorang anak. Selama saya kenal dia, person ini telah menjalankan kewajibannya. Secara pribadi saya tak terlalu banyak tahu tentang sikapnya. Kehidupannya semua kuanggap normal saja. 


Orang ketiga, saya tahu dia sudah menikah dan  sudah punya anak. Selama saya kenal dia, person ini hidupnya jauh lebih baik dan bahagia setelah dia menikah. Saya tahu pasangannya juga demikian. Secara pribadi, saya tahu sikapnya yang mengindahkan keluarganya. Bertanggung jawab dan selalu ikut bahagia melihat dia bersama keluarga kecilnya.


Respon saya ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, "kapan nikah?" Oleh ketiganya, ternyata juga menghasilkan respon yang berbeda. Sungguh cukup membuat saya bingung mengartikannya. Saya jabarkan gambarannya seperti berikut:


Dari orang pertama, sikap saya cukup acuh dan cukup membuat bingung tapi tak sampai memberikan emosi yang berlebih. Hanya sekedar angin lewat yang sesaat saja. Walau terasa tapi tidakk membuat saya berpikir terlalu banyak. Saya tak berkecil hati. Seperti pertanyaan basa-basi yang jawabannya selalu template.


Dari orang kedua, sikap saya kali ini cukup berbeda. Saya cukup memperhatikan dan merespon pertanyaannya dengan normal dan santai. Kami cukup banyak berdiskusi. Percakapan normal seputar hidup dan pernikahan. Tak ada rasa kasihan karena belum memiliki anak. Tapi sebagai seorang teman, dalam hati saya mendoakan dia. Tak ada respon yang berlebihan dari saya ketika ditanya, rasanya cukup normal. 


Dari orang ketiga,  sikap saya kali ini cukup unik, saya cukup bahagia ketika dia bertanya. Sama sekali tak ada rasa kesal. Saya merasa hangat di dada sebab mungkin kuanggap pertanyaan itu sebagai doa dia untuk saya. Respon saya lebih banyak senyum dan mendengarkan. Walau kami seumuran tapi kuanggap itu sebagai wejangan. Lumayan untuk membangkitkan semangat untuk tidak menyerah mencari pasangan. Pertanyaan itu membuat pembicaraan menjadi cukup hangat dan positif.


Akun tak bisa menyimpulkan. Aku tidak menyangka respon saya seperti itu. Katanya, kebanyakan orang menganggapnya sebagai pertanyaan menyebalkan, namun nyatanya yang terjadi pada saya tak begitu. Katanya banyak yang risih, namun sepertinya saya belum merasakannya.

Friday, May 7, 2021

#30haribercerita 2021


#hari1

Seperti awal tahun lalu.
Untuk 30 hari ke depan saya akan bercerita di kolom caption instagram.
Jika berkenan silakan dibaca.

Cerita omong kosong, random, diskusi dari meja sebelah, laporan cuaca hari ini, ataupun anak kambing tetangga yang baru lahir, bisa jadi saya tuliskan untuk memenuhi ajakan @30haribercerita

Namun sepertinya cerita akan sangat tak berfaedah, kecuali diharuskan oleh penyelenggara yang menjadi tema pada hari tertentu.


Untuk hari pertama. Kita bercerita persoalan "KONSPIRASI"

Persiapannya tentu dilakukan sehari sebelumnya. Pemilihan korban sudah disepakati lebih dulu. Biasanya harus ada surat yang dikeluarkan polisi setempat. Dalam proses ini tentu saja saya tak ikut campur.

Singkat cerita dan strategi, kami mulai berkumpul. Mengumpulkan bahan bakar. Bahan terbaik semua di tempatkan dalam satu media. Tak banyak bergerak. Hanya menunggu. Sesekali mengeksekusi di tempat untuk mengetahui kondisi.

Siapa saja boleh menambahkan saran menurut pengalaman masing-masing. Tak lagi dipungkiri, semua punya pengalaman yang jauh di atas rata-rata terkait persoalan ini. Kecuali saya.

Mengawali tahun dengan Kerjasama yang baik.

Sebuah "KONSPIRASI"
"Konro Sepiring Tanpa Nasi"

#30HBC2101
#30haribercerita
@30haribercerita

Thursday, February 20, 2020

30 Hari Bercerita



Selepas jum'at, pada akhir salam, tak butuh waktu banyak aku akhirnya berdiri melewati barisan orang yang menggerakkan jari menghitung dzikir untuk digenapkan pada angka 33.

Bukan apa-apa, isi perutku seakan memberi signal, "kau masih mau duduk? Kau akan membuat setiap orang disini saling buruk sangka karena ulahmu"

Perkara yang aku tak suka bisa saja yang menjadi pemicunya adalah aku, dan aku tak ingin itu.
Berakhirlah perjuangan di toilet masjid.

Seusai ku tunaikan panggilan alam,
Aku keluar, memasang sepatu dan melangkah menuju kopi ku yang belum pada dasar cangkir.

Dzikirku, ku mulai pada saat itu, walau pun tak ku hitung hingga genap 33.
Pemicunya adalah dia yang aku tahu sebentar lagi akan berpapasan denganku.

Pada satu sisi ingin ku tundukkan pandanganku, pada satu sisi ingin ku sapa walaupun hanya sekedar salam.

Namun, kaku bibirku dan detak jantung yang lebih cepat dari gemetar tanganku akhirnya mengalirlah "Subhanallah, Astagfirullah, Allahu Akbar" yang entah terucap dalam hati terbolak-bolik. Mana yang lebih dulu, aku pun tak tahu.
Intinya aku hanya ingin tenang dan mampu memilih sikap apa yang harus ku lakukan dalam beberapa detik kemudian.

Tuhan Maha Tahu dan Maha Asyik dalam hal ini untuk mengoyak hati seorang pemuda.

Monday, February 18, 2019

Ridha dari Tuhan

Berjuang demi orang lain akan membuat semangat baru untuk kita daripada berjuang demi diri sendiri, tapi terkadang kita harus bercermin melihat diri sendiri dan memposisikan diri kita sebagai orang ketiga yang juga harus dibahagiakan. (dzawin nur)

Ini bukan kesimpulan perihal tujuan, namun lebih kepada "bagaimana mencapai sebuah tujuan?".