tak sedikit yang tersisa. andai kata ruang-ruang
mampu memilih. permintaan dan harapanmu mampu terpenuhi, ku undurkan catatan ku
sejengkal, ku sisikan ruang kosong untuk engkau goreskan. kabar dari para angin
di puncak para raja terbungkus suci bagai angin lembab terbungkus kabut putih,
bertiup. berjalan dengan arak-arakan kabar. ini katanya. kamu pun begitu.
matahari saja tak cemburu. untuk apa aku bongkar kotak harap ini. hari itu tak
sendiri. ada aliran air dari 'katanya telaga bidadari' sana. aku paham mengapa
semua mulai pantas. mereka yang tak paham mulai menggerutu, sakit kah? kau
rasakan saja sendiri. ini kabar dari para angin. bertiup dari puncak para raja.
memberi salam bagi mereka yang menghargai. salam sejahtera katanya. ku beri
engkau sedikit. namun bagiku sudah cukup.. cukup merasakan kabarnya dari puncak
para raja...!!
hari itu jalan panjang hari masih terbungkus. Entah apa yang ada di depan hanya kabar merpati-merpati yang pernah terbang berucap. Aku pernah menatapnya kosong, juga penuh harap. Ada limakata yang terwakilkan waktu itu, namun merupakan sebuah Tanya, “akankah harap ini berpijak juga?”. Ku hela panjang sebuah keinginan dan kali ini berkata, “iya”.
tak panjang harapku. Aku tak ingin melampaui batas apa-apa karena yang aku punya tak setinggi engkau, yang ku punya tak selebar engkau, yang ku punya tak sekokoh engkau, aku tak sebanding dengan engkau. Aku hanya meminta kepada-Nya. Asal kita sama-sama.
selangkah ku mulai, engkau masih berkat iya. Dan baiklah kali ini aku tersenyum dan aku merasa kau membalasnya. Derap-derap rumput mulai terdengar menyambut yang baru hadir. Duduk sejenak menghela napas kemudian bangkit lagi. “bunda, ruangku adalah restumu. Ayah, waktuku adalah izinmu. Dari semua tajalli-Nya”. Aku sempat berhadapan dengan orang-orang yang berbudi luhur. Bercerita tentang sakralitas sebuah langkah hidup. ayah, bunda, kalian tahu apa yang mereka katakan, “sertakan ayah bunda dalam setiap langkah”
nasehat yang melemaskan setiap persendiaanku.
Bebauan cemara sudah mulai tercium diantara
lembab-lembab udara yang sedikit menusuk. Padahal sedari tadi ciuman-ciuman
matahari sudah mulai kurasakan disepanjang ujung-ujung tubuhku yang
merindukannya. Wahai yang terlahir diantara sanubari-sanubari restu ruang dan
waktu, datanglah. Hidupkanlah raga beserta jiwamu diantara jari-jari dia yang
tercipta kokoh.
belajar menjadi seorang penyair untuk dirimu, pikirkanlah dalam kelelahanmu. Tutup matamu sebab keindahan tak akan pernah Nampak dalam. Kata seorang penyair, “karena hal terindah d dunia tak pernah terlihat”. Bisa jadi masuk akal. Aku pun tak tahu itu. Aku hanya mencoba.
kini tangan-tangan matahari mencoba merangkul, gema-gema derap langkah harapan mulia terdengar beriringan. Tirai malam telah dari tadi disemak untuk menyambut doa para pecinta syair-syair alam. Apa yang kita punya selain doa? Angkuh jika kita katakan ada yang lain. Bahkan keinginan kita sendiri pun tak mampu kita miliki.
sedikit langkah mulai bepergian. Jiwa telah bertemu dengan suara-suara aliran air. Kini sungai telah menangis diantara batu-batuan yang tersusun meruncing. Sungai telah menangis untuk doa-doa para pengembara hidup. dia mendengar doa-doa yang berkumpul. Dengan ikhlas dia menumpahkan air matanya. Memaksa jiwa mendengarkan kata-katanya. Bukan lidah dan tenggorokan yang berkata, bukan pula telinga yang mendengar, tapi jiwa yang saling terikat dalam bahasa-bahasa yang sulit diartikan. Kali ini Jiwaku membahasakan dan dengan segenap hati kuartikan, bahwa apa yang engkau sentuh ini adalah sebuah mimpi yang kelak engkau ceritakan. Mengundangku untuk menghirup harum edelweiss yang mulai menua dan juga yang baru tumbuh diantara tipis-tipis udara dingin.
belajar menjadi seorang penyair untuk dirimu, pikirkanlah dalam kelelahanmu. Tutup matamu sebab keindahan tak akan pernah Nampak dalam. Kata seorang penyair, “karena hal terindah d dunia tak pernah terlihat”. Bisa jadi masuk akal. Aku pun tak tahu itu. Aku hanya mencoba.
kini tangan-tangan matahari mencoba merangkul, gema-gema derap langkah harapan mulia terdengar beriringan. Tirai malam telah dari tadi disemak untuk menyambut doa para pecinta syair-syair alam. Apa yang kita punya selain doa? Angkuh jika kita katakan ada yang lain. Bahkan keinginan kita sendiri pun tak mampu kita miliki.
sedikit langkah mulai bepergian. Jiwa telah bertemu dengan suara-suara aliran air. Kini sungai telah menangis diantara batu-batuan yang tersusun meruncing. Sungai telah menangis untuk doa-doa para pengembara hidup. dia mendengar doa-doa yang berkumpul. Dengan ikhlas dia menumpahkan air matanya. Memaksa jiwa mendengarkan kata-katanya. Bukan lidah dan tenggorokan yang berkata, bukan pula telinga yang mendengar, tapi jiwa yang saling terikat dalam bahasa-bahasa yang sulit diartikan. Kali ini Jiwaku membahasakan dan dengan segenap hati kuartikan, bahwa apa yang engkau sentuh ini adalah sebuah mimpi yang kelak engkau ceritakan. Mengundangku untuk menghirup harum edelweiss yang mulai menua dan juga yang baru tumbuh diantara tipis-tipis udara dingin.
Sekarang aku belajar, bahwa sesuatu yang beda
didapatka dengan cara yang beda. Mengajariku bahwa semua yang ada mampu membawa
kemuliaan, tanpa terkecuali. Bahkan duri-duri yang menempel di kaki tanganku
diantara lumpur basah yang mulai mongering pun membawa kemulian. Aku merasa
lebih kerdil dari biasanya. Aku senyum namun entah kepada siapa. Lelah namun
tetap tertawa. Merasa tak berguna namun tetap semangat. Takut namun masih tanpa
sesal. Kemarin aku merasa ada yang tercipta kuat dan lemah. Namun di sini ku
sadari semua sama. Dan tak mampu diduga-duga.
Perjalan jiwa, bukan fisik. Inilah yang dibisikkan
hatiku. Hati kecil yang mengkap kabar dari para angin yang terbungkus kabut
dari puncak para raja. Mereka yang mampu merajai hatinya. bukan memeritah tapi
mendengar setiap bisiskan-bisikan kabar dari hati kecilnya.
Kali ini aku merasa seperti kertas kosong yang tak
tak tahu harus berkata-kata. Aku bagaikan siap di tumpahi tinta dengan goresan
apa saja yang datang tanpa diundang dan mulai terus mendekat. Kupandangi langit
dan bumi yang kurasa hanya berjarak sejengkal. Bagai dua paduan ciptaan cerdas
dan berbicara dengan bahasa yang masing-masing manusia menafsirkannya berbeda. Mereka
bagai saling merangkul dengan bahasa tubuh yang jarang aku rasakan. Bergandengan
bagai sepasang kekasih dan aku berada tepat diantara cinta mereka bersemi. Aku bagai
anak kecil yang baru memandang langit luas dan bermain diatas tanah yang luas
dan kokoh. Aku menikmati buah cinta mereka dengan potret-potret senyum yang
jiwaku gambarkan. Inilah puncak para raja. Raja-raja dari setiap hati mereka yang mengenali Raja dari para raja di hati mereka.
Di puncak para Raja- puncak BawaKaraeng. ada kabar dari para angin yang terbungkus kabut.. laksana sebuah kelembutan yang terbungkus suci.. bisiskan yang menenangkan hati. secuil pun tak ada rasa sesal. Dan yang aku tahu hanya semangat dari jiwa ini yang mampu membawaku sampai ke puncak. Salam dan doa kuhantarkan lewat tiap tatapan, lewat tiap langkah, dan lewat tiap tarikan nafas.
kini ku temukan, kabar “Aira” di puncak para Raja.
No comments:
Post a Comment