Entah kau
salahkan mata, entah kau salahkan telinga, di bangku yang beralaskan serbuk
bunga-bunga surga yang engkau duduki tanpa sadar. Dia tak akan tumbuh. Di depan
meja tanpa sudut kau jatuhkan tanganmu tanpa tahu meja itu terbungkus
warna-warna indah yang dibawa malaikat. Kau tumpahkan pula sisa susu yang
kau minum malam ini. Ini bukan pertama kali bagimu, bukan yang pertama kali
engkau tak sadar tempatmu.
Bergumam kau
dalam lamunmu, mengapa tak berteriak sekalian saja??
walau engkau mungkin berteriak sekali pun mungkin engkau tak mampu mendengar suaramu sendiri.
entah menyalahkan siapa??
walau engkau mungkin berteriak sekali pun mungkin engkau tak mampu mendengar suaramu sendiri.
entah menyalahkan siapa??
Kau terbang
melayang melintasi imaji-imaji semu. Awan kelam, menangis.. aku berpikir, apa
yang ia tangisi?? Engkau kah? Tempatmu kah? Ataukah aku yang mengatahui ini, ku
ketahui tanpa ku tahu mengapa aku bisa tahu.
Ini lah
kecemerlangan hidup, seperti lampu di taman rumahmu..
sebuah
kerajaan hidup yang pernah engkau banggakan di tahta singgasana yang kau sebut
bahagia.
engkau tak
pernah tahu, siapa yang memimpinmu..
hakikat tak
bernilai, dan engkau tak pernah tahu semua dengan siapa engkau berayun di taman
bunga itu. Ini lebih bernilai bagiku, setidaknya mampu aku tuliskan dan
mengajarkan sesuatu padaku..
“kau
mengajariku menjadi malaikat” aku memang
sedikit sombong.
mungkin anggapanmu adalah ,”tak ada malaikat yang sombong”.
tapi ku tepis itu.. biarlah… sekali-kali aku ingin menghadapi kesombonganmu dengan kesombonganku..
mungkin anggapanmu adalah ,”tak ada malaikat yang sombong”.
tapi ku tepis itu.. biarlah… sekali-kali aku ingin menghadapi kesombonganmu dengan kesombonganku..
Karena
kejujuranmu bagiku adalah kebohonganmu atas dunia,
sampai engkau
jujur dengan kebohonganmu dan berhenti dari kesombonganmu.
Aku tahu
semua ini..
jangan kau tanyakan darimana aku tahu semua itu, karena aku tak akan pernah tulus menjawab
jangan kau tanyakan darimana aku tahu semua itu, karena aku tak akan pernah tulus menjawab
sampai kau benar-benar
bertanya. Bertanya dengan jujur. Karena kebohonganmu adalah kepalsuan dan aku sudah
muak dengan kepalsuan!!
Aku di sini.
Makhluk setengah binatang yang mengaku malaikat. Yang berpikir mampu hidup
sendiri bagai malaikat, tapi nyatanya aku setengah binatang yang anti
kesendirian. Aku sudah kau anggap menjadi tabu, menjadi asing dalam
penerimaanmu karena eksistensi dari keadaan ini dan kau telah anggap aku melampaui
batas-batas normative dan privasimu.. tapi pernahkah aku berlaku demikian? Aku bertanya
dengan tegas tapi aku tak butuh jawaban darimu. Pikiranmu telah lebih dulu
menghakimiku. aku tahu engkau berpikir keadaanmu adalah manifestasi dari
ketabuanku. Engkau terlampau sombong.
katanya rumahmu adalah ruang privasi dirimu, tapi mengapa aku sampai bisa tahu, mungkin sebahagian, isi rumahmu.
aku hampir lupa bertanya, kali ini aku tanyakan dengan tulus walau engkau menganggapnya tabu. Aku bertanya dengan ketulusan karena aku tak ingin lagi kepalsuanku, ”APAKAH engkau sudah tahu arti janji-janji Tuhan yang engkau bissikkan?”
katanya rumahmu adalah ruang privasi dirimu, tapi mengapa aku sampai bisa tahu, mungkin sebahagian, isi rumahmu.
aku hampir lupa bertanya, kali ini aku tanyakan dengan tulus walau engkau menganggapnya tabu. Aku bertanya dengan ketulusan karena aku tak ingin lagi kepalsuanku, ”APAKAH engkau sudah tahu arti janji-janji Tuhan yang engkau bissikkan?”
Karena sebuah
Tanya ini aku pula aku mampu bertanya padamu, bertanya dengan kesungguhan ketulusan tanpa
kepalsuan, dan tanpa sedikit pun rasa benci, sombong, dan sesal. Tanya yang
membuatku tersenyum menuliskan (entahlah..
aku hanya menulis, menulis apa yang bisa terwakilkan kata) ini.
“Apakah nyanyian laut berakhir di pantai
atau dalam hati-hati mereka yang mendengarnya”?
(Gibran)
MAKASSAR, JUM’AT
8 FEBRUARI 2013.
maaf mas sy gak tersinggung, cuma bingung, hehehe..
ReplyDeletesalam kenal :)
hehehe.. Biarlah bingungmu menjadi istana tempat janji2 matahari bersinar..!!
DeleteSalam kenal kembali...
:D