Makassar. Langit malam berpayungkan awan
gelap. Titik hujan bagai jarum mulai menusuk para penghuni lorong yang tak
pernah tidur. Lorong kecil yang hanya muat sebuah mobil untuk dilewati namun
tak pernah sekalipun sebuah mobil melalui jalan ini.
Tak pernah tidur, yah, tak
pernah tidur. Lorong yang dihuni oleh penduduk Indonesia yang jauh dari kesan
modern karena yang akan engkau temuan adalah manusia-manusia yang sehari
bergelut dengan yang engkau konsumsi sehari-hari, yang engkau buang sehari-hari,
dan yang engkau gunakan sehari-hari. Inilah dunia kecil yang mereka hidupi di
dalam dunia yang engkau tinggali sekarang di pusat kota Makassar.
Seperdua malam seperti malam ini dan malam sebelum ini,
bahkan malam sesudah ini pun mungkin akan tetap sama. Sebahagian mereka baru mulai mengetok pintu rumah mereka
yang dihuni para anak-anak yang tak berharap banyak pada dunia. Itu yang
Nampak. Namun sekali lagi itu yang Nampak. Kalian tak tak tahu ada dunia yang mereka
impikan lebih dari ini.
Lewat dari seperdua malam, sebahagian dari meraka yang lain
mulai bersiap membuka kembali pintu rumah mereka untuk sebuah harapan kecil
hari ini. Mencari apa yang tidak kalian gunakan hari ini untuk harapan-harapan
kecil para anak-anak mereka. Harapan kecil atau kecilnya harapan? Maaf, sulit
untuk dibedakan di lorong kecil ini. Karena lewat dari seperdua malam, mereka
mulai melangkahkan kaki menelusuri jalan besar hingga kecil di sudut-sudut kota
Makassar.
Malam pun hampir berlalu dan yang tersisa hampir seperempat
malam dan kali ini engkau akan mendapati mereka keluar dan masuk dari pintu
rumah kecil yang hanya sekali dobrak oleh anak kecil sekaalipun akan roboh. Ada
yang berbekal roda dua yang di kayuh lengkaap dengan keranjang-keranjangnya,
adapula roda 3 yang telah dipermak sedemikian rupa, dan tak jarang pula hanya
roda dua yang didorong dengan tenaga-tenaga super mereka.
Memang lorong ini tak pernah tidur. Walau sehari-hari mereka
terus saja berharap dunia yang memandang sebelah mata mereka, bukan, bukan
memandang sebelah mata, bahkan tidak melihat mereka sama sekali. Namun mereka
masih juga mencintai lorong mereka, dunia meraka yang telah bertahun-tahun
meraka hidupi. Mereka tetap menjaganya agar anak-anak mereka yang mereka tak
tahu punya harapan-harapan besar tetap tidur malam ini dengan nyenyak. Sebuah
pos ronda dengan fasilitas yang lumayan lengkap. Papan catur, domino/gaplek
beserta teman-temannya, sebuah pemanas air, dan lampu-lampu terang yang
menghiasi serta sebuah TV yang dirumah mereka pun tak ada, tapi untuk tempat
ini mereka usahakan bersama.
Sebuah dunia kecil yang indah bagi mereka, entah kalian
menganggapnya apa, aku tak tahu, di dalam dunia yang kalian kata kota, Kota
Makassar. Dunia kecil tempat harapan-harapan besar menggantung. Dunia kecil
yang tak pernah tidur namun selau bermimpi. Dunia kecil yang di setiap sudutnya
terdapat doa-doa yang bertebaran. Dan dunia kecil yang indah, mengajarkan
kebijaksanaan dan kearifan.
Di sisi lain kota ini, Kota Makassar. Ada sebuah garis yang akan engkau temukan,
garis pembatas, bukan tapi tembok pembatas yang mengelilingi sebuah dunia yang
dipenuhi lampu-lampu terang nan indah, lantai-lantai marmer setia rumah,
halaman-halaman luas dan parkiran yang ditenggeri mobil-mobil mewah, dan ukuran
rumah yang di atapi dengan genteng-genteng yang begitu kokoh terlihat.
Jalan-jalan depan rumah yang nyaris
tanpa kawah. Taman yang berada di tengah dunia yang terbentengi itu terlihat
begitu mewah, lampu, tempat duduk, meja, beserta rumput yang hampir tiap
harinya tak satu debu pun di biarkan menempel. Ini baru taman dan tampilan
luar.
Entah apa yang ada di dalam setiap istana-istana yang
terbentengi itu, anak-anak di lorong kecil di sisi lain kota ini mungkin tak
akan pernah mereka lihat di dunianya, kecuali melalui TV di pos ronda mereka.
Namun disekitar istana ini, terasa tak ada tanda-tanda kehidupan. Semua
fasilitas terasa hanya mainan belaka yang dipajang sebagai koleksi dan hanya
sesekali di nikmati. Kumpulan istana ini.
Inilah dunia dalam dunia. Kota Makassar jika dilihat-lihat
tak ubahnya dengan film-film yang bertemakan kerajaan. Istana besar berdampingi
dengan rumah-rumah kecil yang mungkin
hanya di batasi sungai atau padang rumput yang jika berdiri diantaranya akan
melihat sebuah arsitektur yang berbeda masa begitu jauh.
Satu lagi dunia yang ada di tengah kota Makassar. Dunia yang
berada di antara keduanya. Dunia perantara. Semua serba limah puluh berbanding
lima puluh. Mereka yang dari segi materi
kehidupan masih berada di antara keduanya. Rumah tidak besar dan tidak kecil
tapi cukup. Lingkungan biasa-biasa saja.
(makassar dalam deskripsi. yahhh sekedar cuap-cuap anak ayam yang baru mulai tumbuh... kalau dilihat dari file tulisan.. nah ini mungkin salah satu tulisan saya yang terselamatkan dari kecamnya bencana rusaknya hardisk laptop.. di sini tertanggal.. 5/11/2009 11:51 PM.. hanya itu... sekian)
No comments:
Post a Comment